Jelajah Kuliner Kampung di Sekitar Malioboro

Jelajah Kuliner Kampung di Sekitar Malioboro – Jalan Malioboro di Yogyakarta dikenal sebagai jantung kota yang tak pernah sepi. Deretan toko batik, pedagang kaki lima, dan suasana khas kota budaya membuatnya selalu ramai wisatawan. Namun, di balik gemerlap jalan utamanya, terdapat pesona lain yang tak kalah menggoda—yakni deretan kuliner kampung yang tersembunyi di gang-gang kecil sekitar Malioboro. Menjelajahi kuliner kampung ini bukan hanya soal rasa, tapi juga pengalaman menyelami kehidupan lokal yang hangat dan penuh cerita.

Aroma Tradisi di Gang Sempit

Tak jauh dari pusat keramaian Malioboro, gang-gang kecil menyimpan berbagai warung makan tradisional yang telah berdiri puluhan tahun. Salah satunya adalah Gudeg Pawon, yang berlokasi di daerah Jalan Janturan, tak terlalu jauh dari Malioboro. Meskipun agak tersembunyi, tempat ini selalu ramai pengunjung sejak sore hingga tengah malam. Gudeg di sini unik karena disajikan langsung dari pawon (dapur tradisional), dengan aroma kayu bakar yang khas dan rasa manis gurih yang melekat di lidah.

Selain Gudeg, ada pula Angkringan Lik Man yang legendaris dengan sajian kopi joss—kopi hitam panas yang disajikan dengan arang membara di dalamnya. Rasanya memang tidak biasa, tapi justru itu yang membuatnya ikonik. Sambil duduk lesehan di tikar dan menikmati sejuknya malam Yogyakarta, suasana kampung terasa begitu hidup. Obrolan ringan, tawa, dan alunan musik jalanan berpadu menciptakan kehangatan yang sulit ditemukan di tempat lain.

Gang kampung di sekitar Malioboro juga menyimpan kuliner khas seperti sate kere, pecel lele malam hari, hingga nasi kucing yang dibungkus daun pisang. Semua disajikan sederhana, namun memiliki cita rasa yang membumi dan memikat. Warung-warung kecil ini menjadi saksi hidup betapa kuliner tradisional tetap bertahan di tengah arus modernisasi.

Ragam Kuliner Otentik dan Cerita di Baliknya

Salah satu daya tarik kuliner kampung di sekitar Malioboro adalah keberagamannya. Di satu sudut, Anda bisa menemukan jajanan manis seperti wedang ronde, serabi Notosuman, atau lupis gula merah yang disajikan hangat saat malam mulai turun. Sementara di sudut lain, aroma gurih dari bakmi Jawa yang dimasak dengan tungku arang akan menggoda siapa pun yang lewat.

Setiap makanan punya cerita tersendiri. Misalnya, bakmi Jawa Mbah Mo, yang konon resepnya tidak berubah sejak puluhan tahun lalu, menggunakan bumbu racikan tangan dan cara masak yang sama seperti generasi sebelumnya. Atau lupis Bu Dirjo, jajanan manis yang dibuat dengan ketan hitam dan gula merah cair, masih dijual di depan rumah sang penjual sejak tahun 1970-an.

Kelezatan kuliner kampung ini bukan hanya pada rasa, tetapi juga pada pengalaman personal yang menyertainya. Banyak wisatawan mengaku menemukan “rasa rumah” saat mencicipi makanan-makanan tersebut. Mungkin karena para penjualnya memasak dengan cara yang jujur dan penuh ketulusan, atau karena interaksi sederhana antara pembeli dan penjual yang membuat setiap kunjungan terasa akrab.

Selain itu, kawasan kampung sekitar Malioboro seperti Kampung Ketandan dan Sosrowijayan juga memiliki daya tarik tersendiri. Ketandan dikenal sebagai kawasan pecinan dengan kuliner seperti bakpia, lumpia, dan mie ayam khas Tionghoa. Sedangkan Sosrowijayan, yang banyak dihuni wisatawan mancanegara, menyajikan perpaduan kuliner lokal dan internasional—mulai dari nasi goreng hingga roti bakar ala Barat—semuanya berpadu dalam suasana kampung yang tetap bersahaja.

Malioboro dan Kuliner Sebagai Pengikat Budaya

Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya, dan salah satu cara terbaik untuk memahami budayanya adalah melalui kulinernya. Di sekitar Malioboro, setiap hidangan tidak hanya menawarkan rasa, tapi juga filosofi. Contohnya, nasi liwet yang kerap disajikan bersama lauk sederhana seperti telur dan tempe orek, mencerminkan nilai kebersamaan dan kesederhanaan masyarakat Jawa.

Di pagi hari, aroma lontong sayur kampung dan bubur ayam Jawa akan mengiringi langkah para pekerja dan wisatawan yang bersiap beraktivitas. Sore hari, kawasan sekitar Pasar Beringharjo mulai hidup dengan pedagang gorengan, es dawet, dan jenang yang berwarna-warni. Saat malam tiba, suasana bertransformasi menjadi pasar malam kuliner dengan tenda-tenda yang menjual makanan khas Yogyakarta dari berbagai daerah.

Inilah keunikan Malioboro dan sekitarnya—kuliner bukan sekadar pelengkap wisata, tapi menjadi bagian dari identitas kota. Setiap suapan menyimpan cerita: tentang keluarga yang menjaga resep turun-temurun, tentang tradisi yang terus hidup di dapur sederhana, dan tentang keramahan masyarakat yang selalu menyambut siapa pun dengan senyum.

Kesimpulan

Menjelajahi kuliner kampung di sekitar Malioboro bukan hanya kegiatan wisata kuliner biasa, melainkan perjalanan menyelami jantung budaya Yogyakarta. Di balik gang-gang kecil dan warung sederhana, tersimpan kekayaan rasa dan nilai kehidupan yang autentik. Dari gudeg pawon hingga kopi joss, dari bakmi Jawa hingga jajanan pasar, setiap hidangan menawarkan pengalaman yang tak terlupakan.

Malioboro mungkin dikenal karena keramaian dan lampu-lampu kotanya, namun sejatinya, jiwa Yogyakarta justru hidup di dapur-dapur kecil dan warung kampung yang tetap setia menjaga tradisi. Bagi siapa pun yang datang ke Yogyakarta, menjelajahi kuliner kampung di sekitar Malioboro adalah cara terbaik untuk merasakan hangatnya kota ini—hangat karena rasa, dan hangat karena manusia yang ada di baliknya.

Scroll to Top